Malam
ini, kulihat jam di Hp sudah menunjukkan pukul tujuh. “Sudah
waktunya untuk makan malam”, aku berbicara
pada diriku sendiri. Tapi sebelum
itu, aku ada sedikit keperluan di toko buku, ingin melihat-lihat
roman atau novel yang mungkin layak dibeli
untuk bulan ini, karena sudah ku anggarkan
sejak jauh-jauh hari.
Setelah
beberapa saat, aku bersiap-siap berangkat. Toko-nya dekat, hanya
beberapa ratus meter dari kosku, masuk kejalan besar, lurus dan toko
tersebut akan terlihat di sisi selatan jalan. Cukup besar dan cukup
luas.
Sesampainya disana,
kucari-cari dibagian karya sastra maupun novel, tidak sulit untuk
menemukan sesuatu yang menarik, banyak pilihan, dan akhirnya
kuputuskan untuk terus mencari. Setelah
tiga puluh menit lamanya, aku belum berminat untuk mengambil beberapa
novel atau roman, sebagian kecil sudah kumiliki, sedikit.
Tak
lama kemudian, alarm perutku rupanya sudah memanggil, “oh iya, aku
lupa kalo aku juga ingin makan” batinku. Aku-pun
beranjak dari rak-rak buku yang penuh di toko tersebut, keluar dan
kudapati tempat makan sederhana, tepat didepan toko
tersebut,
“aaahh, angkringan” senyumku.
Beberapa saat, aku
sudah mengambil nasi yang dibungkus dengan daun, orang-orang biasa
menyebutnya dengan “nasi
kucing”,
entah mengapa mereka menyebutnya begitu, aku tak tahu sejarah
asal-muasalnya.
Seperti
kuceritakan diawal, nasinya terbungkus dalam daun pisang, rata-rata
bentuknya kecil, “sekali makan mungkin taka akan kenyang”, itu
yang kupikirkan. Menunya cukup sederhana, sambal ikan teri
didalamnya, di angkringan tersebut-pun menyediakan minuman dan
gorengan sebagai pelengkap lauk pauk.
“Aah,
sedapnya”
Tak
terasa aku sudah mengambil bungkusan nasi yang kedua, dan kuambil
pula tahu
goreng
untuk menambah nikmat makan malam ini. Ya, nikmat
sekali.
Berada
di warung kecil yang diangkut dengan gerobak, duduk berjejer diatas
bangku dan dibawah temaram lampu yang membuat suasana semakin hangat,
apalagi
ditambah wedang
jahe, hmmm,
luar biasa.
Setelah beberapa
suap dari bungkusan kedua, aku mendengar percakapan antara pembeli
dan penjual dalam bahasa jawa
kromo atau
disebut juga dengan jawa
halus.
Kuterjemahkan
begini,
kurang lebih.
“Berapa
bu” ujar pembeli kepada sang penjual, yang kebetulan seorang
wanita.
“Apa
aja pak?” ucapnya.
“Nasi
dua, es teh,
sama gorengannya dua ”
“O,,
semuanya empat ribu limaratus pak”
Setelah itu, aku
terperanjat, bukan karena murahnya, tapi karena pembelinya.
Ya,
karena pembelinya adalah “mohon
maaf”
seorang
tuna
netra. Aku menyebut asma
Allah
dalam hati, luar biasa orang ini. Kulihat dia merogoh kantongnya,
mencari-cari dan membayarnya.
Peristiwa
itu terus kuperhatikan dan tak kulewatkan, “sungguh hebat orang
ini” gumamku dalam hati.
Ia
mampu melakukan apa
yang
dilakukan
oleh
orang normal, dan dia tidak meminta belas kasihan dari seorangpun dan
semua ia lakukan sendiri. Aku termenung sejenak, melihat ia membayar
dengan uang pas, dan berlalu dengan tongkatnya, sendirian dan
berjalan kaki.
Pria
tersebut merupakan potret malam, yang semakin jauh dia beranjak,
semakin aku sadari, bahwa semua tidak mengahambatnya untuk berbuat
apapun yang ia mau, semua ia lakukan meskipun pelan-pelan. Ia
memiliki semangat yang kadang-kadang tak dimiliki manusia normal. Ia
“menamparku”
seketika, tamparan keras untuk bergerak dan bersemangat dalam hidup,
tidak peduli apapun keadaanmu.
Karena, sudah banyak
yang kulihat dan kurasakan sendiri terhadap apa yang dapat dilakukan
oleh manusia normal kebanyakan, tapi tak pernah ada kemauan untuk
itu. Sedangkan pria tersebut, sungguh mantap jalannya, memberikan
gambaran bahwa ia juga bisa berbuat sesuatu tanpa harus melihat
kekurangannya.
Dunia ini terkadang
memang terbalik, sebagian orang yang dikarunia kelebihan, kadang tak
tahu apa yang harus dilakukan dan hanya berdiam diri mengharapkan
hujan uang turun dari langit, tak ada karya dan tak ada usaha.
Sebagian yang lain,
yang justru terkadang terlihat hanya sebelah
mata,
mampu berbuat lebih yang tak bisa dilakukan kebanyakan orang.
Fantastis.
Aah,
pria itu telah berlalu, hilang dibawah lampu-lampu jalan yang terang,
mungkin beranjak pulang,
dan
aku?
masih termenung sejanak, berfikir tentang inspirasi hidup disaat yang
tidak aku duga sebelumnya.
Terimaksih
kuucapkan untukmu pak, juga untuk-Mu
Tuhanku sang permberi kehidupan.
Akhirnya
akupun melanjutkan untuk menghabiskan makanku yang tinggal separuh
lagi, tak lama setelah
membayar, aku beranjak pulang.
Angkringan Jogja,
13 Maret 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar