Kamis, 14 Maret 2013

Rabu Malam di Angkringan



Malam ini, kulihat jam di Hp sudah menunjukkan pukul tujuh. “Sudah waktunya untuk makan malam”, aku berbicara pada diriku sendiri. Tapi sebelum itu, aku ada sedikit keperluan di toko buku, ingin melihat-lihat roman atau novel yang mungkin layak dibeli untuk bulan ini, karena sudah ku anggarkan sejak jauh-jauh hari.
Setelah beberapa saat, aku bersiap-siap berangkat. Toko-nya dekat, hanya beberapa ratus meter dari kosku, masuk kejalan besar, lurus dan toko tersebut akan terlihat di sisi selatan jalan. Cukup besar dan cukup luas.
Sesampainya disana, kucari-cari dibagian karya sastra maupun novel, tidak sulit untuk menemukan sesuatu yang menarik, banyak pilihan, dan akhirnya kuputuskan untuk terus mencari. Setelah tiga puluh menit lamanya, aku belum berminat untuk mengambil beberapa novel atau roman, sebagian kecil sudah kumiliki, sedikit.
Tak lama kemudian, alarm perutku rupanya sudah memanggil, “oh iya, aku lupa kalo aku juga ingin makan” batinku. Aku-pun beranjak dari rak-rak buku yang penuh di toko tersebut, keluar dan kudapati tempat makan sederhana, tepat didepan toko tersebut, “aaahh, angkringan” senyumku.
Beberapa saat, aku sudah mengambil nasi yang dibungkus dengan daun, orang-orang biasa menyebutnya dengan “nasi kucing”, entah mengapa mereka menyebutnya begitu, aku tak tahu sejarah asal-muasalnya.
Seperti kuceritakan diawal, nasinya terbungkus dalam daun pisang, rata-rata bentuknya kecil, “sekali makan mungkin taka akan kenyang”, itu yang kupikirkan. Menunya cukup sederhana, sambal ikan teri didalamnya, di angkringan tersebut-pun menyediakan minuman dan gorengan sebagai pelengkap lauk pauk.
Aah, sedapnya”
Tak terasa aku sudah mengambil bungkusan nasi yang kedua, dan kuambil pula tahu goreng untuk menambah nikmat makan malam ini. Ya, nikmat sekali.
Berada di warung kecil yang diangkut dengan gerobak, duduk berjejer diatas bangku dan dibawah temaram lampu yang membuat suasana semakin hangat, apalagi ditambah wedang jahe, hmmm, luar biasa.
Setelah beberapa suap dari bungkusan kedua, aku mendengar percakapan antara pembeli dan penjual dalam bahasa jawa kromo atau disebut juga dengan jawa halus. Kuterjemahkan begini, kurang lebih.
Berapa bu” ujar pembeli kepada sang penjual, yang kebetulan seorang wanita.
Apa aja pak?” ucapnya.
Nasi dua, es teh, sama gorengannya dua ”
O,, semuanya empat ribu limaratus pak”
Setelah itu, aku terperanjat, bukan karena murahnya, tapi karena pembelinya.
Ya, karena pembelinya adalah “mohon maaf” seorang tuna netra. Aku menyebut asma Allah dalam hati, luar biasa orang ini. Kulihat dia merogoh kantongnya, mencari-cari dan membayarnya.
Peristiwa itu terus kuperhatikan dan tak kulewatkan, “sungguh hebat orang ini” gumamku dalam hati.
Ia mampu melakukan apa yang dilakukan oleh orang normal, dan dia tidak meminta belas kasihan dari seorangpun dan semua ia lakukan sendiri. Aku termenung sejenak, melihat ia membayar dengan uang pas, dan berlalu dengan tongkatnya, sendirian dan berjalan kaki.
Pria tersebut merupakan potret malam, yang semakin jauh dia beranjak, semakin aku sadari, bahwa semua tidak mengahambatnya untuk berbuat apapun yang ia mau, semua ia lakukan meskipun pelan-pelan. Ia memiliki semangat yang kadang-kadang tak dimiliki manusia normal. Ia “menamparku” seketika, tamparan keras untuk bergerak dan bersemangat dalam hidup, tidak peduli apapun keadaanmu.
Karena, sudah banyak yang kulihat dan kurasakan sendiri terhadap apa yang dapat dilakukan oleh manusia normal kebanyakan, tapi tak pernah ada kemauan untuk itu. Sedangkan pria tersebut, sungguh mantap jalannya, memberikan gambaran bahwa ia juga bisa berbuat sesuatu tanpa harus melihat kekurangannya.
Dunia ini terkadang memang terbalik, sebagian orang yang dikarunia kelebihan, kadang tak tahu apa yang harus dilakukan dan hanya berdiam diri mengharapkan hujan uang turun dari langit, tak ada karya dan tak ada usaha.
Sebagian yang lain, yang justru terkadang terlihat hanya sebelah mata, mampu berbuat lebih yang tak bisa dilakukan kebanyakan orang. Fantastis.
Aah, pria itu telah berlalu, hilang dibawah lampu-lampu jalan yang terang, mungkin beranjak pulang, dan aku? masih termenung sejanak, berfikir tentang inspirasi hidup disaat yang tidak aku duga sebelumnya.
Terimaksih kuucapkan untukmu pak, juga untuk-Mu Tuhanku sang permberi kehidupan.
Akhirnya akupun melanjutkan untuk menghabiskan makanku yang tinggal separuh lagi, tak lama setelah membayar, aku beranjak pulang.

Angkringan Jogja, 13 Maret 2013







Tidak ada komentar:

Posting Komentar