Rabu, 10 Juli 2013

Lagi dan Lagi

Lagi, menginjak bumi yang semakin gersang, menghadirkan awan-awan semu, seakan memberikan hujan pada manusia dibawahnya. Kaki panas terinjak-injak oleh penguasa gunung yang tetap saja menyimpan laharnya, padahal mereka tahu, lahar itu panas adanya.
Entah berapa sumpah rerumputan hijau menggema, berharap selalu ada pepohonan rindang melindunginya, memberi harapan, bahwa kalian akan tenang dan tak mati kelaparan.
Engkau kaya wahai bumi, dilintasi sungai dan anak-anaknya, didiami permata dan bongkahan-bongkahannya, tapi selalu ada saja urat-urat kekar yang mengambil dan mencurinya.
Coba lihat, asap mengepul, menghadirkan kabut di tanah yang semakin hari semakin suram, gelap tertutup dibawah tangkai kegagalan. Sapi tak lagi membajak, ia terganti dengan mesin-mesin penuh hawa hitam, panas dan bikin sesak.
Kaki tak banyak lagi berjalan, meletakkannya di permadani bumi, ia tergantikan oleh jet-jet yang membawa kau terbang ke kahyangan dan mebuat orang lupa, bahwa ia punya tanahnya sendiri serta isinya.
Kantong-kantong pakaian kini tak lagi berisikan recehan perak maupun uang, ia tergantikan dengan kartu-kartu yang membuat hasrat menjadi manusia tamak, pemuja dunia dan tak mau lagi berbagi. Tinggllah rumput-rumput kecil menari-nari dengan muka lesu, kulit kering dan mata sayu, tinggal menunggu waktu bahwa ia akan ditendang lagi oleh terompah-terompah mengkilat yang tak tahu dari mana datangnya, terserobot dan tergusur tanpa daya.
Pernah kau lihat jari-jari mengadah, mengharap surga? Kini ia tertentang lebih tinggi, dengan kepalan, kadang ia mampu mengeluarkan darah kental sang penduduk bumi, kadang pula ia mengikuti alunan irama suara dendang kencang yang berawal dari malam hingga mentari menjelang.
Aish.. sudahlah…! Takkan habis genggaman manusia menekuk jemarinya, membawa abu-abu tak karuan dari berbagai alam, dan akhirnya tinggallah yang yang berdahan rendah menunduk lesu sambil berdoa dalam hati “Tuhan, tolonglah kami”.


Dalam hujan, 10 Juli 2013