Lagi, menginjak bumi yang semakin gersang, menghadirkan awan-awan
semu, seakan
memberikan hujan pada manusia dibawahnya. Kaki panas terinjak-injak oleh
penguasa gunung yang tetap saja menyimpan laharnya, padahal mereka tahu, lahar
itu panas adanya.
Entah berapa sumpah rerumputan hijau menggema, berharap selalu ada
pepohonan rindang melindunginya, memberi harapan, bahwa kalian akan tenang dan
tak mati kelaparan.
Engkau kaya wahai bumi, dilintasi sungai dan anak-anaknya, didiami
permata dan bongkahan-bongkahannya, tapi selalu ada saja urat-urat kekar yang
mengambil dan mencurinya.
Coba lihat, asap mengepul, menghadirkan kabut di tanah yang semakin
hari semakin suram, gelap tertutup dibawah tangkai kegagalan. Sapi tak lagi
membajak, ia terganti dengan mesin-mesin penuh hawa hitam,
panas dan bikin sesak.
Kaki tak banyak lagi berjalan, meletakkannya di permadani bumi, ia
tergantikan oleh jet-jet yang membawa kau terbang ke kahyangan dan mebuat orang
lupa, bahwa ia punya tanahnya sendiri serta isinya.
Kantong-kantong pakaian kini tak lagi berisikan recehan perak
maupun uang, ia tergantikan dengan kartu-kartu yang membuat hasrat menjadi
manusia tamak, pemuja dunia dan tak mau lagi berbagi. Tinggllah rumput-rumput
kecil menari-nari dengan muka lesu, kulit kering dan mata sayu, tinggal
menunggu waktu bahwa ia akan ditendang lagi oleh terompah-terompah mengkilat
yang tak tahu dari mana datangnya, terserobot dan tergusur tanpa daya.
Pernah kau lihat jari-jari mengadah, mengharap surga? Kini ia
tertentang lebih tinggi, dengan kepalan, kadang ia mampu mengeluarkan darah
kental sang penduduk bumi, kadang pula ia mengikuti alunan irama suara dendang
kencang yang berawal dari malam hingga mentari menjelang.
Aish.. sudahlah…! Takkan habis genggaman manusia menekuk jemarinya,
membawa abu-abu tak karuan dari berbagai alam, dan akhirnya tinggallah yang
yang berdahan rendah menunduk lesu sambil berdoa dalam hati “Tuhan, tolonglah
kami”.
Dalam hujan, 10 Juli 2013