Pagi-pagi
sekali, kamarku digertak oleh suara alarm. Suara yang memekikkan
telinga, seakan berteriak
“Hei, bangun kau jiwa pemalas..!!”
“Ya, ya, ya…” pekikku dalam
saraf kepala.
Aku-pun tak perlu sewot sesubuh ini,
karena memang aku-lah yang menyetting
alarm tiap malam
agar aku bisa
bangun pagi hari. “Untuk kebiasaan baik” desahku.
Jika kalian berkunjung ke kamarku,
kalian akan dapati satu taman satwa, didalamnya ada beberapa burung
warna-warni yang siap bernyanyi tiap pagi. Ya, satu kandang burung
yang besar, berisikan enam pasang burung yang aku sendiri tak tau apa
nama hewan mungil lucu tersebut, usut punya usut, sang pemilik “bapak
kos-ku” bilang;
“Itu burung Love
Bird namanya”
“Karena mereka harus
sepasang-sepasang” tambahnya.
Oooh begitu, aku baru
tahu, hewan
mungil tersebut punya nama ke-Inggris-ingrisan
rupanya.
Baiklah, kita tinggal sejenak hewan
lucu tersebut, semalam aku pusing bukan kepalng. Sedari sore, kos-ku,
listriknya tak mau lagi menyala, ada gejala konsleting katanya.
Aku baca-baca
dikamus, apa itu konsleting, belum juga kutemui, memang karena aku
tak suka belajar IPA, dan pada saat itu, lampu-pun sedang padam. Sore
kemarin, hujan mengguyur pelan. Tapi tak disangka punya pengaruh kuat
terhadap kabel listrik diatas kos-kos-an
ku.
Aih, jadilah aku dan teman-temanku
lainnya harus mengungsi ketempat lain, kenalan yang dapat menampung
aku barang semalam. Kata sang pemilik;
“Ditungggu ya mas, sepertinya kita
ga’
bisa
pake listrik dulu malam ini”
“Takut ada sesuat yang tak
diinginkan” tambahnya.
“Mungkin besok sudah normal
kembali, karena petugas PLN akan datang
esok hari” Janjinya.
Aku dan teman-teman yang lain-pun
hanya bisa pasrah, mengiyakan dan mengamini kata-katanya. Tentu
dengan pikiran
yang waras, untuk kebaikan bersama.
Setelah magrib, hujan masih
mengguyur. Aku beranjak dari kos dengan penerangan sederhana, senter.
Lampu senter yang kecil mencari-cari kebutuhanku
dalam gelap
untuk sementara waktu, sambil berpikir kemana aku akan “mengungsi”.
Akhirnya aku bersepakat dengan hati, aku akan ke asrama mahasiswa
yang berada didekat daerahku
itu, kebetulan para
penghuninya juga
masih teman kuliahku. Kulihat pula teman-teman kosku yang lain,
ada yang sudah pergi entah kemana, mungkin jalan-jalan menikmati
malam “meskipun sedikit gerimis”.
Aku cukup berjalan, dengan jaket
black hood aku
telusuri malam
menuju asrama. Melewati gapura kampung
yang cukup bagus sebagai pintu gerbang, dan juga melihat-lihat jalan
sambil menghindari air
yang sudah
menggenang sejak
tadi sore.
Repot memang, ketika zaman modern
sudah menjadi darah daging kehidupan manusia
abad modern,
abad dua puluh satu. Semua sudah menjadi praktis se-praktisnya,
semua jenis barang yang belum terpikirkan sebelumnya telah muncul dan
menjadi gaya hidup tiap orang.
Hand phone,
Ipad dan
laptop merupakan
sebagian kecil dari zaman ini. Belum lagi alat-alat pelengkap lainnya
yang menunjang paralatan utama tersebut, makin banyak. Tak terbayang
olehku sebegitu repotnya ketika semalam saja listrik tak bergerak,
kewalahan tak tahu apa yang harus dilakukan, karena semua aktifitas
sudah bergantung pada hal-hal tersebut.
“Oh iya, Mau
kalian kuceritakan sesuatu?”,
ada daerah pelosok sana yang masih menggunakan penerangan sederhana,
obor, lampu teplok dan mungkin api unggun yang dipercikkan dari korek
api alam, batu.
Pernah kudengan cerita para pecinta
Indonesia yang lepas dari negara Timor Leste dan memilih untuk
ber-Indonesia, mereka hidup prihatin dalam kegelapan malam, sedangkan
sayup-sayup mereka lihat terdapat cahaya yang terang disebelah sana,
negeri yang mereka tinggalkan yang
sebenarnya adalah tanah tempat mereka dilahirkan.
“Oooh Indonesia”
Jangan kau berjauh-jauh pergi
ketimur. Mungkin didaerah Jawa ini-pun masih ada kampung yang belum
merasakan terangnya listrik, lampu pualam yang putih bening, hanya
temaram cahaya teplok
yang menemani
untuk segala aktifitas, belajar, mengobrol dan lain sebagainya.
Sebagian wilayah
lain, ada yang memperoleh listrik, tapi seadanya. Hanya malam hari
saja mereka dapat pencahayaan dan penerangan, yang terkadang itu-pun
dapat jeglek
kapan
saja tanpa pemberitahuan.
Mungkin
juga, ada
sebagian yang mengerti Hp,
tapi mereka akan pergi keatas bukit terlebih dahulu untuk dapat
menggunakan benda tersebut. Mencari sinyal, sinyal harapan dan
kehidupan dunia luar yang belum pernah mereka lihat sebelumnya,
mungkin.
Dan malam tadi, aku duduk bersama
teman-temanku
diasrama,
diatas bangku yang terbuat dari bambu. Bercerita
dibawah terangnya kehidupan modern yang mungkin ada sebagian dari
saudaraku yang belum merasakannya.
“Aaah, sungguh
indah dunia ini dengan gemerlap lampu-lampu” gumamku.
“Apalagi yang
sulit dibawah daya yang entah berapa kilo watt, hingga baja-pun dapat
digerakkan ke angkasa. Membawa wajah-wajah manusia mengelilingi dunia
dengan satu sentuhan layar dalam benda yang kecil mungil yang hanya
berukuran satu genggam.”
Diseberang sana,
mungkin sudah terlupa bahwa masih ada saudara satu bumi yang masih
hendak pikir-pikir
dahulu
jika ingin keluar malam. Apalagi melintasi hujan dan naik ke udara,
“aah, mungkin mustahil” batin mereka.
Tapi kita semua
tentu memiliki harapan dan impian, berharap agar semua diterangi
dengan wajah modern yang tidak mengintimidasi dan menggurui. Bermimpi
agar semua anak negeri ini dapat memajukan daerahnya dari jauh-nya
sinyal modern menjadi sinyal-sinyal yang dapat dirasakan bersama
tanpa ada pilih kasih dan melihat senyum bahagia dari tiap-tiap wajah
penduduk negeri ini.
“Akh, semoga”
harapku.
Akhirnya malam
telah larut, hujan-pun telah reda. Jam satu dini hari aku baru
pulang, dan lampu masih padam. Aku-pun ganti baju, menyetel alrm dan
beranjak tidur. Salam.
Jogja,
20 Maret 2013.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar