Rabu, 10 Juli 2013

Lagi dan Lagi

Lagi, menginjak bumi yang semakin gersang, menghadirkan awan-awan semu, seakan memberikan hujan pada manusia dibawahnya. Kaki panas terinjak-injak oleh penguasa gunung yang tetap saja menyimpan laharnya, padahal mereka tahu, lahar itu panas adanya.
Entah berapa sumpah rerumputan hijau menggema, berharap selalu ada pepohonan rindang melindunginya, memberi harapan, bahwa kalian akan tenang dan tak mati kelaparan.
Engkau kaya wahai bumi, dilintasi sungai dan anak-anaknya, didiami permata dan bongkahan-bongkahannya, tapi selalu ada saja urat-urat kekar yang mengambil dan mencurinya.
Coba lihat, asap mengepul, menghadirkan kabut di tanah yang semakin hari semakin suram, gelap tertutup dibawah tangkai kegagalan. Sapi tak lagi membajak, ia terganti dengan mesin-mesin penuh hawa hitam, panas dan bikin sesak.
Kaki tak banyak lagi berjalan, meletakkannya di permadani bumi, ia tergantikan oleh jet-jet yang membawa kau terbang ke kahyangan dan mebuat orang lupa, bahwa ia punya tanahnya sendiri serta isinya.
Kantong-kantong pakaian kini tak lagi berisikan recehan perak maupun uang, ia tergantikan dengan kartu-kartu yang membuat hasrat menjadi manusia tamak, pemuja dunia dan tak mau lagi berbagi. Tinggllah rumput-rumput kecil menari-nari dengan muka lesu, kulit kering dan mata sayu, tinggal menunggu waktu bahwa ia akan ditendang lagi oleh terompah-terompah mengkilat yang tak tahu dari mana datangnya, terserobot dan tergusur tanpa daya.
Pernah kau lihat jari-jari mengadah, mengharap surga? Kini ia tertentang lebih tinggi, dengan kepalan, kadang ia mampu mengeluarkan darah kental sang penduduk bumi, kadang pula ia mengikuti alunan irama suara dendang kencang yang berawal dari malam hingga mentari menjelang.
Aish.. sudahlah…! Takkan habis genggaman manusia menekuk jemarinya, membawa abu-abu tak karuan dari berbagai alam, dan akhirnya tinggallah yang yang berdahan rendah menunduk lesu sambil berdoa dalam hati “Tuhan, tolonglah kami”.


Dalam hujan, 10 Juli 2013

Minggu, 31 Maret 2013

Jejak di Bulan Maret


Hai, hai, hai..” minggu pagi di penghujung maret disapa kembali oleh lembaran koran, ditemani segelas air putih segar dan aku siap menyongsong terbit mentari. Ia timbul dari timur, memberikan senyuman terindahnya kepadaku, kau, kita dan semua makhluk tuhan yang ada di muka bumi.
Tidak terasa mentari di penghujung maret secerah ini, warnanya benar-benar berbinar, bersinar terang di kota ini. Sebuah koleksi alam yang tidak dapat ditandingi keindahannya dan kebesarannya. Mungkin ia raja dari tata surya, raja yang menyinari dan menghangatkan galaksi ini, pikirku.
Bulan ini banyak hal penting terjadi dalam keseharianku, mulai dari kebosanan, keingintahuan, kenyamanan dan lain sebagainya. Awal bulan ini kulewati dengan ide kosong melompong di kepala, tidak tahu apa yang harus dilakukan dengan semester yang memasuki fase akhir. Kemudian ada ketertarikan dengan novel-novel “ya.. walaupun sedikit” tapi itu membantu membangun daya imajinasi-ku, dan kurasa itu hal yang positif, walaupun sederhana.
Jam-jam kosong mungkin terlalu sayang untuk dibuang pada bulan ini, ada banyak kegiatan yang harus dilakukan dan ada banyak tempat yang dapat dikunjungi. Kota ini memang memberikan banyak pilihan dan aku menyukainya.
Bosan memang sering menjadi wabah mematikan pada bulan ini, belum lagi dengan sikap yang malas bergerak walaupun hanya untuk berseih-besih kamar, aku rasa hal itu yang sangat memalukan. Tapi, mau tidak mau harus dilakukan juga dan entah bagaimana caranya hal tersebut menjadi kebiasaan yang harus di-dawamkan, semoga.
Sekedar berbincang tentang kota dan negara ini, ini adalah bulan simpati masyarakat Indonesia terhadap sepak bola ditandai dengan suksesnya Kongres Luar Biasa (KLB) PSSI dan Indonesia terhindar dari sanksi FIFA. Bulan ini-pun menyediakan drama yang terjadi pada tubuh partai berkuasa di Indonesia, partai Demokrat, dan kemudian dilanjutkan dengan KLB-pula yang diadaakan di pulau dewata, Bali. Aku-pun mengucapkan selamat pada Bapak SBY yang telah terpilih menjadi ketua umum partai dan semoga dapat bahu-membahu membangun bangsa menjadi lebih baik lagi, itu harapanku sebagai rakyat biasa.
Duka juga tak bisa dielakkan dari negeri ini, mulai dari pembakaran Kantor Polres di Ogan Komering Ulu (OKU), Sumatra Selatan, penembakan di Lapas Cebongan, Yogyakarta dan masih banyak lagi konflik yang terjadi di bulan ini diberbagai wilayah Indonesia.
Selain itu, ada hal yang sangat ironi dengan bumi pertiwi yang megah ini, harga bawang yang menjadi salah satu komuditas penting masyarakat Indonesia melambung tinggi luar biasa, entah apa yang terjadi dengan perekonomian negeri dan tanah pertaniannya, akhir-akhir ini, harga cabai yang malah menyusul bawang, “Ooooh...”. Semoga hal-hal tersebut dapat diselesaikan dan negeri ini menjadi aman, tentram dan sejahtera kembali, doaku.
Ngoong-ngomong..” Bagaimana hari-hari kalian di bulan ini? Tentu kalian memiliki hari-hari yang sangat berbeda dan tentu dengan bingkai dan alur cerita yang kalian buat sendiri. Apapun itu, semoga hal-hal positif selalu kita raih dan menjadikannya motivasi dan pelajaran yang baik untuk kedepan.
Aaah..” hari akan memasuki tanggal satu april esok hari, namun menurutku bukan tanggalnya yang menjadi hitungan, tapi hari-harinya. Semakin menyadari hari yang telah lewat, mungkin kita akan semakin menyadari ada sesuatu yang terasa kurang, wajar, itu sifat alamiah manusia. Lalu, dari sanalah peran dari pribadi kita untuk menyikapinya, mau ke arah mana?
Hidup tidak pernah berhenti, ia akan berjalan memangkas waktu. Dalam hal itu pula ada berbagai macam kemungkinan yang menjadikan hidup manusia menjadi sangat-sangat indah. Tawa dan tangis adalah bumbu, dan yang terpenting adalah usaha dan proses.
Oh iya, tidak semua hari dapat kita ingat kejadiannya dan tidak semua hari dapat membuat kita tersenyum puas, aku-pun mengalami itu. Tapi, apa salahnya jika kita lihat kembali jadwal kita, susun ulang rangka kegiatan dan bangun semangat baru untuk kedepan. Layaknya menyiapkan segelas kopi atau teh hangat dipagi hari lalu nikmati secara perlahan, mengapa tidak !!??
Salam...
Jogja, 31 Maret 2013.

Kamis, 28 Maret 2013

Kopi Pagi


Air mengalir dari gunung menyusuri ngarai, melewati berbagai halangan dijalan yang ditempuhnya dan kemudian berakhir di lautan, sebagian terendap meresap kedalam bumi, bertujuan akhir memberi kehidupan bagi penghuninya, tak terkecuali manusia.
Hari masih pagi, dan air dalam sebuah ruang lain tertuang di dalam pemanas, mendidih di atas tungku yang terbakar merah menyala. Ia mendidih, berubah fungsi menjadi beberapa macam untuk tujuan yang sangat-sangat tak sempat ia mengerti prosesnya. Tapi intinya, “ia berguna” syukurnya.
Serbuk-serbuk kecil kopi telah disiapkan, cangkir telah dibersihkan dan sesaat kemudian air yang sudah menjadi panas tertuang ke dalam benda mungil tersebut, bergaul dengan serbuk kopi dan menyatu, larut, dan tetap sama intinya, ia berguna meski berubah warna.
Pagi yang dingin berubah hangat, tertebar aroma menggiurkan dari cangkir yang berisi air kopi, sedikit-sedikit diseruput, membawa caffein yang terkandung dari serbuk-serbuknya. Merangsang otak, membuka saraf dan “ini sangat nikmat”.
Pagi yang gelap berubah menjadi berwarna, tubuh yang lemas menjadi segar dan mata yang mengantuk menjadi menyala, membangunkan otak dan tubuh bangkit dari kekakuan.
Entah apa rasa dunia tanpa kopi, Mengantukkah? Loyokah? Aku tak tahu. Begitupun rasa air tanpa kopi dan sedikit racikan gula, mungkin akan tetap tawar-tawar saja tanpa ada rasa, monoton.
Entah apa itu pula cermin pagi, cermin manusia dan cermin dunia. Harus ada yang mengubah warna-nya, mengubah alam bawah sadar bahwa alangkah indahnya hidup ini yang berawal dari pagi, pagi yang dingin.
Namun ia tak selamanya dingin, dengan pencarian dan inovasi ia dapat berubah menjadi indah dengan suara-suara alam yang semakin didengar semakin syahdu dan merdu. Ia-pun dapat berubah menjadi hangat, buktinya dengan kopi pagi ini, membawa rasa fantasi yang hanya didapat diwaktu pagi, luar biasa.
Pagi, pagi, pagi, engkau akan terlewati dengan hadirnya matahari yang menanjak naik, merubah warna langit menjadi jingga. Sementara itu, kopi di depan mata tinggal sedikit, dipercepat sebelum hilang kehangatan dan ia habis begitu saja.
Terimakasih dunia, alam, air, kopi dan mentari. Aku hirup lagi udaramu, aku seruput lagi hangat airmu, aku cium lagi aroma kopimu dan kulihat lagi hari yang masih belum ku ketahui bagaimana ia berlangsung, namun semua akan terasa nikmat ketika kaki sudah berjalan melangkah.

Selamat beraktifitas dari secangkir kopi yang telah habis tanpa sisa.”

Jogja, 28 Maret 2013.

Selasa, 26 Maret 2013

Berburu Koin


Minggu ini telah memasuki minggu akhir dari bulan maret, berisikan dengan tiga puluh satu hari berikut dengan tanggal-nya dalam kalender masehi, full untuk hitungan bulan. Akhir bulan, itulah kata-kata yang sangat identik dan melekat unruk penyebutan minggu akhir, untuk setiap bulan dan tidak hanya bulan maret ini saja.
Senyum mahasiswa rantau sepertiku memang terasa renyah ketika tanggal menunjuk pada angka satu setiap bulannya, mungkin bukan untukku saja, tapi kebanyakan mahasiswa rantau yang jauh dari rumah dan kampung halaman. Awal bulan sangatlah identik dana segar yang baru didapatkan baik secara mandiri maupun kiriman, dan bertepatan dengan hal tersebut, dapat kau bayangkan, semua terasa mudah dalam kehidupan sebagai mahasiswa, “ambooyyy”.
Kebutuhan sehari-hari akan terasa ringan dan mudah dijalani, kau dapat berpergian kemana saja, refreshing ditempat mana saja dan mungkin dengan sedikit makan “bergizi”.
Namun hal itu mungkin tidak bertahan lama, memasuki minggu kedua, formasi keuangan akan berubah drastis, sangat-sangat cepat. Finansial yang tidak diatur dari awal akan menghadirkan ancaman pada pertengahan bulan, kira-kira sekitar minggu kedua dan ketiga, dan akan semakin parah pada minggu terkhir, akhir bulan.
Daya kreatifitas mahasiswa akan meningkat ketika memasuki tahap-tahap akhir ini, tak terkecuali diriku sendiri. Kebutuhan yang sangat mendadak akan semakin memperparah suasana hati dan roda hidup mahasiswa. Belum lagi ketika keadaan mahasiswa yang masih terlibat dalam suatu hubungan, jomblo saja bingung, apalagi yang sedang dalam hubungan asmara, “ampun... tak bisa kubayangkan”.
Kreatifitas di akhir bulan dapat dibilang unik menurut pendapatku, hal ini sesuai dengan pengalaman dan mungkin akan terjadi pada siapa saja, kapan saja dan dimana saja. Salah satu faktor penentunya adalah uang logam dari segala harga, mulai dari seratus, lima ratus hingga seribu rupiah.
Ya, koin-koin ini-lah yang menumbuhkan kreatifitas mahasiswa dalam memburu, “hunting coin” istilahnya dan koin-koin tersebut-lah yang akan menjadi penyelamat mahasiswa diakhir bulan, setidaknya, dan kau tahu dimana mendapatkannya? Ada banyak tempat untuk mengetahui keberadaan koin-koin tersebut, ia bisa berada di sudut ruangan, di dalam laci meja, di tempat yang tak tersentuh oleh sapu sebelumnya, di kantong yang lama tak terjamah dan lain sebagainya. Intinya, ada dimana saja dalam ruangan kamar selama anda mau mencari.
Hahaha, ini merupakan kejadian langaka yang sangat sayang jika ku lewatkan. Entah berapa kali hidupku diselamatkan oleh koin-koin yang awalnya tak terhiraukan dan berceceran di berbagai tempat. Bukan karena tidak peduli, tapi mungkin lebih kepada feeling mahasiswa yang mengatakan “kau akan kubutuhkan suatu saat”.
Kurasa itu terbukti dan cukup membantu, pencarian koin yang semakin dicari semakin menumpuk, mampu merubah alur “cerita akhir bulan” meskipun sedikit dan tidak sepenuhnya. Mungkin, dengan koin yang didapat pada hari pertama, dapat digunakan untuk membeli gorarengan di siang hari, tidak banyak, tapi cukuplah untuk menutupi kekosongan perut. J
Begitu seterusnya, dan jika beruntung, siapa tahu ada beberapa lembar uang kertas yang mungkin lupa dibelanjakan akan ditemui, kadang-kadang.
Tapi, tentu tidak selamanya aku, maupun kita semua ingin seperti itu di setiap penghujung bulan. Tentu ada banyak cara dalam menyikapi keadaan finansial ukuran mahasisawa. Mulai dari berhemat, mengatur pengeluaran, tidak terlalau bernafsu dalam memburu keinginan-keingina yang tidak perlu, dan lain sebagainya yang kebanyakan dari kita semua tahu apa yang dibutuhkan dan yang diperlukan dalam mengatur keuangan bulanan.
Ya, bapakku pernah mengatakan; "kau yang tahu kebutuhanmu, maka kau yang harus mengerti cara mengatur keuanganmu, pergunakanlah sebaik-baiknya". Aku mngamini saran dan nasihat tersebut, karena berada ditempat yang jauh dari keluarga merupakan suatu tantangan tersendiri yang harus disikapi dengan bijak, bagaimana mengatur pola hidup, membelanjakan uang yang ada dengan bijak dan cermat serta masih banyak lagi persoalan sehari-hari yang terkadang dianggap sepele tapi berpengaruh besar dalam menjalani kehidupan di perantauan sebagai seorang penuntut ilmu.
Saat ini adalah pembelajaran bagiku maupun bagi kita semua, untuk dapat mengatur keuangan dalam skala kecil, suatu saat nanati akan ada skala besar yang mau tidak mau kita harus mampu mengaturnya. Salam.

Jogja, 25 Maret 2013.


Sabtu, 23 Maret 2013

Awal Baru Dari Gelora

Jam tujuh malam aku duduk didepan televisi, membuka channel satu stasiun tv swasta yang bertepatan dengan pertandingan tim nasional Indonesia melawan tim Arab Saudi dalam ajang babak kualifikasi piala asia.
Sepertinya sudah menjadi tradisi bagi kebanyakan stasiun tv untuk menghadirkan siaran pertandingan sepak bola di akhir pekan, setidaknya itulah hiburan yang cukup membuat semangat para pecinta sepak bola yang kebanyakan laki-laki di seluruh dunia duduk tenang mendapatkan hiburan di akhir pekan.
Saat ini, giliran tim sepak bola Indonesia yang mendapatkan giliran bertanding di stadion sendiri, Gelora Bung Karno. Aku lihat berita-berita di seluruh stasiun tv nasional kebanyakan meliput tentang pertandingan tersebut untuk meningkatkan animo masyarakat untuk mendukung tim nasional Indonesia, tim nasional kita.
Tapi ada sesuatu yang baru saat ini, yaitu hadirnya tim nasional yang utuh yang bertanding pada malam ini. Mengapa utuh? Karena sudah kurang lebih tiga tahun atmosfer sepak bola Indonesia terus turun dikarenakan konflik dualisme kepengurusan sepak bola Indonesia yang berkepanjangan.
Konflik merupakan sesuatu yang kulihat sangat menghancurkan kompetisi sepak bola Indonesia. Konflik yang hadir dalam kepengurusan Persatuan Sepakbola Seluruh Indonesia (PSSI) sangat-sangat membuat para pelaku dan peminat sepak bola bingung. Bingung memikirkan keutuhan tim nasional yang muncul menjadi dua kubu.
Masing-masing pihak mengklaim merekalah yang paling benar dan yang paling berhak mengurus segala hal tentang persepakbolaan Indonesia. Akhirnya, semua atmosfer tentang kecintaan dan pengabdian pada merah putih di level internasional tergerus oleh permasalahan yang terjadi. “Haduh...” itu keluhanku sebagai supporter.
Pada masa-masa tersebut animo masyarakat terhadap pertandingan sepak bola sedikit menurun untuk level klub, dan lebih parah lagi untuk tim nasional.
Pada bulan ini, barulah terlihat ada berbagai macam perbaikan dalam menyatukan persepakbolaan Indonesia. Mulai dari ancaman federasi sepak bola dunia (FIFA), konsolidasi oleh Mentri Pemuda dan Olah Raga (Menpora), hingga pelaksanaan Kongres Luar Biasa (KLB) dalam tubuh PSSI.
Melihat-lihat dari berbagai usaha tersebut, kurasa cukup berhasil untuk meningkatkan suasana persepakbolaan yang kondusif seperti sedia kala. Hal tersebut terbukti dengan kesuksesan kongres dan berbagai hasil yang menyatukan kompetisi, hingga muncul kembali sosok-sosok pemain yang sebelumnya tak bisa memperkuat tim nasional dikarenakan konflik terdahulu. Semua bersatu.
Ahh, ada satu hal lagi, ternyata animo masyarakat-pun secara otomatis meningkat dalam mendukung dan meihat pertandingan tim nasional tercinta. Hal tersebut terbukti di dalam stadion Gelora Bung Karnao malam ini. Menurut pemberitaan, hampir semua tiket yang disediakan panitia yang berjumla 70.000-an habis terjual. Wow, ini menunjukkan bahwa masyarakat Indonesia tahu bahwa mereka sangat rindu pada tim nasional yang utuh dan pada kompetisi yang kompetitif yang tidak beraroma dualisme seperti sebelumnya. Tidak suka konflik singkatnya.
Olah raga ini merupakan olah raga rakyat, hampir seluruh masyarakat Indonesia menyukainya, dan kurasa mereka akan melakukan apapun untuk mendukung tim nasional Indonesia ini, tim nasional yang selalu dibanggakan.
Olah raga ini adalah olahraga yang dapat menyatukan beribu-ribu masa, dari berbagai kalangan dan berbagai suku. Olah raga ini adalah olah raga yang bersifat universal yang diharapkan selalu menghibur penduduk negeri yang kondisi negerinya kadang tak menentu.
Olah raga ini adalah olah raga yang dicintai masyarakat, maka janganlah olah raga ini di obok-obok berkurang karena berbagai kepentingan yang tak tentu arah hingga merusak antusias masyarakat.  Karena mereka, kita, aku dan masyarakat Indonesia cinta sepak bola, cinta Indonesia. Salam.

Nonton Timnas, 23 Maret 2013.

Kamis, 21 Maret 2013

Dari Pinggiran


Sore, aku terduduk di sudut jalan gang, disamping lapangan bola voli, dikampung tempat dimana aku tinggal untuk saat ini. Angin semilir menyapa, menyejukkan suasana, semakin bersahabat inginnya, kurasa.
Lalu-lalang motor dari berbagai rupa melewati wajahku, meneriakkan mesin-mesin yang mengarah pada kelelahan pengendaranya. Ya, wajah lelah dapat terlihat dari sudut mata mereka, dari gerak yang sudah tak nyaman diatas kendaraan besi tersebut.
Anak-anak kecil kulihat sedang bermain gembira dilapangan, menghabiskan hari dibawah matahari senja yang teduh. Senang aku melihatnya, tertawa riang, bernyanyi dan berlari-lari. Entah apa yang dimainkan, dinyanyikan, tak kuperhatikan terlalu jauh.
Anak-anak muda sebagian ada yang masih nongkrong dipinggir jalan gang, sebagian lagi berolah raga kecil-kecilan dilapangan yang dapat dibilang cukup luas. Badminton sedang meraja-lela akhir-akhir ini dikalangan pemuda kampung, santai, meriah dan cukup energik untuk mengeluarkan kalori dari dalam tubuh.
Aku berpikir kampung ini memang tidak terlalu besar, tapi setidaknya ada fasilitas yang dapat mendukung kegiatan warganya. Yang ringan-ringan saja menurutku, lapangan contohnya.
Ya, tempat bekumpul seperti lapangan kurasa menjadi salah satu fasilitas yang dipandang perlu untuk setiap kampung atau desa, karena ia dapat difungsikan menjadi wahana untuk berbagai macam kegiatan masyarakat sekitar.
Dan lapangan yang sedang ku tongkrongi dibelakangku ini, telah memberikan banyak kontribusi bagi masyarakatnya, tempat anak-anak bermain, tempat berolahraga, tempat mengadakan acara-acara kampung, acara tahunan, bahkan untuk ibadah-pun dapat dilakukan seperti salat ‘Ied.
Komunikasi masyarakat-pun aku rasa dapat bejalan dengan baik dengan adanya fasilitas atau tempat yang mendukung, tak perlu lagi jauh-jauh untuk mengadakan suatu acara, toh ditempat sendiri sudah tersedia.
Anak-anak-pun tak perlu lagi bermain jauh keluar kampung, lapangan telah menjadi tempat yang baik untuk mereka bermain, dan begitu pula bagi kalangan muda dan seterusnya.
Namun hal ini tidak dapat dilihat di berbagai kota-kota besar, tidak semua masyarakat kampung atau daerah yang terletak di kota besar dapat menikmati lapangan yang dapat mereka gunakan untuk hal-hal yang demikian. Sedikit-banyak tempat tersebut telah beralih fungsi dari ruang publik menjadi tempat-tempat usaha pribadi atau perumahan-perumahan umum yang semuanya berbasis materi.
Tidak dapat disalahkan memang, ketika seseorang atau suatu badan membangun tempat yang ber-orientasikan bisnis. Tapi, kebutuhan akan ruang publik merupakan keperluan yang harus juga dipikir dan ditimbang oleh setiap anggota masyarakat yang ada, sejak dari pimpinan tertinggi seperti Presiden dengan kepanjangan tangannya dibawah kendali dinas Pekerjaan Umum, pejabat-pejabat propinsi hingga tingkat RT/RW setempat.
Karena ruang publik dapat digunakan untuk berbagai fungsi yang dapat menunjang kegiatan masyarakat setempat dan juga sebagai pengikat persatuan warga dengan hal sederhana seperti berkumpul atau berpapasan ditempat tersebut.
Persoalan ini bukanlah persoalan kecil, dilihat dari berbagai berita di media masa, ruang publik di daerah Ibu Kota saja contohnya, sangatlah sedikit, dan itu dikeluhkan oleh masyarakat dari berbagai kalangan, dan alangkah baiknya jika masyarakat dari semua lapisan dan di berbagai daerah-pun belajar untuk selalu melestarikan ruang publik yang ada untuk kepentingan bersama.
Sayup-sayup kudengar tawa dari anak-anak yang masih bermain dipinggir lapangan, terdengar ceria.
Alangkah indahnya” gumamku.
Dan jika kita semua dapat melestarikan senyuman itu akan lebih indah lagi” aku menambahi.
Untuk masa yang panjang, untuk anak-anak negeri yang sudah sulit keluar rumah dan tak lagi bergaul dengan sebaya, tapi bergaul dengan Game dalam sebongkah box”
Untuk mereka selalu bekumpul, bersosialisasi dan untuk mereka kenang dimasa muda dan masa selanjutnya”, Aaamin.
Matahari tetap teduh, seorang teman yang sedang berolah-raga memanggilku, aku-pun menghampiri, memasuki lapangan dan kuambil sebuah raket badminton yang sudah disediakan. Let’s Play...!!!

Pinggiran Jogja, 21 Maret 2013.



Rabu, 20 Maret 2013

Listrik dan Dunia Lain



Pagi-pagi sekali, kamarku digertak oleh suara alarm. Suara yang memekikkan telinga, seakan berteriak
Hei, bangun kau jiwa pemalas..!!”
Ya, ya, ya…” pekikku dalam saraf kepala.
Aku-pun tak perlu sewot sesubuh ini, karena memang aku-lah yang menyetting alarm tiap malam agar aku bisa bangun pagi hari. “Untuk kebiasaan baik” desahku.
Jika kalian berkunjung ke kamarku, kalian akan dapati satu taman satwa, didalamnya ada beberapa burung warna-warni yang siap bernyanyi tiap pagi. Ya, satu kandang burung yang besar, berisikan enam pasang burung yang aku sendiri tak tau apa nama hewan mungil lucu tersebut, usut punya usut, sang pemilik “bapak kos-ku” bilang;
Itu burung Love Bird namanya”
Karena mereka harus sepasang-sepasang” tambahnya.
Oooh begitu, aku baru tahu, hewan mungil tersebut punya nama ke-Inggris-ingrisan rupanya.
Baiklah, kita tinggal sejenak hewan lucu tersebut, semalam aku pusing bukan kepalng. Sedari sore, kos-ku, listriknya tak mau lagi menyala, ada gejala konsleting katanya.
Aku baca-baca dikamus, apa itu konsleting, belum juga kutemui, memang karena aku tak suka belajar IPA, dan pada saat itu, lampu-pun sedang padam. Sore kemarin, hujan mengguyur pelan. Tapi tak disangka punya pengaruh kuat terhadap kabel listrik diatas kos-kos-an ku.
Aih, jadilah aku dan teman-temanku lainnya harus mengungsi ketempat lain, kenalan yang dapat menampung aku barang semalam. Kata sang pemilik;
Ditungggu ya mas, sepertinya kita ga’ bisa pake listrik dulu malam ini”
Takut ada sesuat yang tak diinginkan” tambahnya.
Mungkin besok sudah normal kembali, karena petugas PLN akan datang esok hari” Janjinya.
Aku dan teman-teman yang lain-pun hanya bisa pasrah, mengiyakan dan mengamini kata-katanya. Tentu dengan pikiran yang waras, untuk kebaikan bersama.
Setelah magrib, hujan masih mengguyur. Aku beranjak dari kos dengan penerangan sederhana, senter. Lampu senter yang kecil mencari-cari kebutuhanku dalam gelap untuk sementara waktu, sambil berpikir kemana aku akan mengungsi. Akhirnya aku bersepakat dengan hati, aku akan ke asrama mahasiswa yang berada didekat daerahku itu, kebetulan para penghuninya juga masih teman kuliahku. Kulihat pula teman-teman kosku yang lain, ada yang sudah pergi entah kemana, mungkin jalan-jalan menikmati malam “meskipun sedikit gerimis”.
Aku cukup berjalan, dengan jaket black hood aku telusuri malam menuju asrama. Melewati gapura kampung yang cukup bagus sebagai pintu gerbang, dan juga melihat-lihat jalan sambil menghindari air yang sudah menggenang sejak tadi sore.
Repot memang, ketika zaman modern sudah menjadi darah daging kehidupan manusia abad modern, abad dua puluh satu. Semua sudah menjadi praktis se-praktisnya, semua jenis barang yang belum terpikirkan sebelumnya telah muncul dan menjadi gaya hidup tiap orang.
Hand phone, Ipad dan laptop merupakan sebagian kecil dari zaman ini. Belum lagi alat-alat pelengkap lainnya yang menunjang paralatan utama tersebut, makin banyak. Tak terbayang olehku sebegitu repotnya ketika semalam saja listrik tak bergerak, kewalahan tak tahu apa yang harus dilakukan, karena semua aktifitas sudah bergantung pada hal-hal tersebut.
Oh iya, Mau kalian kuceritakan sesuatu?”, ada daerah pelosok sana yang masih menggunakan penerangan sederhana, obor, lampu teplok dan mungkin api unggun yang dipercikkan dari korek api alam, batu.
Pernah kudengan cerita para pecinta Indonesia yang lepas dari negara Timor Leste dan memilih untuk ber-Indonesia, mereka hidup prihatin dalam kegelapan malam, sedangkan sayup-sayup mereka lihat terdapat cahaya yang terang disebelah sana, negeri yang mereka tinggalkan yang sebenarnya adalah tanah tempat mereka dilahirkan.
Oooh Indonesia”
Jangan kau berjauh-jauh pergi ketimur. Mungkin didaerah Jawa ini-pun masih ada kampung yang belum merasakan terangnya listrik, lampu pualam yang putih bening, hanya temaram cahaya teplok yang menemani untuk segala aktifitas, belajar, mengobrol dan lain sebagainya.
Sebagian wilayah lain, ada yang memperoleh listrik, tapi seadanya. Hanya malam hari saja mereka dapat pencahayaan dan penerangan, yang terkadang itu-pun dapat jeglek kapan saja tanpa pemberitahuan.
Mungkin juga, ada sebagian yang mengerti Hp, tapi mereka akan pergi keatas bukit terlebih dahulu untuk dapat menggunakan benda tersebut. Mencari sinyal, sinyal harapan dan kehidupan dunia luar yang belum pernah mereka lihat sebelumnya, mungkin.
Dan malam tadi, aku duduk bersama teman-temanku diasrama, diatas bangku yang terbuat dari bambu. Bercerita dibawah terangnya kehidupan modern yang mungkin ada sebagian dari saudaraku yang belum merasakannya.
Aaah, sungguh indah dunia ini dengan gemerlap lampu-lampu” gumamku.
Apalagi yang sulit dibawah daya yang entah berapa kilo watt, hingga baja-pun dapat digerakkan ke angkasa. Membawa wajah-wajah manusia mengelilingi dunia dengan satu sentuhan layar dalam benda yang kecil mungil yang hanya berukuran satu genggam.”
Diseberang sana, mungkin sudah terlupa bahwa masih ada saudara satu bumi yang masih hendak pikir-pikir dahulu jika ingin keluar malam. Apalagi melintasi hujan dan naik ke udara, “aah, mungkin mustahil” batin mereka.
Tapi kita semua tentu memiliki harapan dan impian, berharap agar semua diterangi dengan wajah modern yang tidak mengintimidasi dan menggurui. Bermimpi agar semua anak negeri ini dapat memajukan daerahnya dari jauh-nya sinyal modern menjadi sinyal-sinyal yang dapat dirasakan bersama tanpa ada pilih kasih dan melihat senyum bahagia dari tiap-tiap wajah penduduk negeri ini.
Akh, semoga” harapku.
Akhirnya malam telah larut, hujan-pun telah reda. Jam satu dini hari aku baru pulang, dan lampu masih padam. Aku-pun ganti baju, menyetel alrm dan beranjak tidur. Salam.

Jogja, 20 Maret 2013.