Sabtu, 02 Maret 2013

Cuacaku


Apa kabar duniaku?  kembali aku menghirup udaramu dengan rasa yang sangat-sangat baru. Akhir-akhir ini cuacamu sangat tak menentu, menemani akhir pekan yang aku rasa semakin ambigu untuk dinimati.
Tapi tak apalah, mau gimana lagi, tak mungkin kusalahkan kau tentang buruk dan baiknya cuacamu, karena aku merasa yakin bahwa kau tak beraslah dan tak punya andil dalam perubahan itu.
Kau tahu kampungku? kampungku berada dipelosok daerah sana. Dulu, ketika aku masih berumur enam hingga sepuluhan tahun, banyak orang-orang tak mengenal kampungkuu, bahkan ada nada menghina tersirat dalam ucapan orang-orang itu. Namun aku masih bangga terhadap kampungku itu.
Tahu kau? Karena aku merasa kampungku memiliki segalanya, ya, alam yang melimpah, tetangga yang menebar senyum, ramah tamah dalam silaturahmi, masih banyak hutan yang dapat dilihat, dah juga kepelosokannya kukira. Kampungku serasa negeri yang luar biasa, memberikan ikan-ikan segar dari sungainya yang jernih, tempat para penduduk mandi serta mengais rezeki.
Aku masih ingat ketika bapakku mengajakku mencari ikan ditepi sungai dikampungku, men-jala ikan sambil belajar aku men-jala –namun masih saja tak bisa- dan luar biasa yang kami dapatkan, ikan-ikan sungai segar untuk kami makan dan masuk dalam tungku ibuku.
Alam dan sungai dikampungku merupakan sahabatku, berendam lama di sungai merupakan hobi kami saat anak-anak, tak jarang aku-pun demam tinggi dibuatnya karena tak dengar nasihat ibu dan nenek. Tapi, tetap saja aku membandel dan tetap terjun kesungai. Betapa nakalnya aku saat itu.
Tapi entah mengapa, aku merasa luar biasa bahagia. Aku pernah diajak buyutku berjalan kaki ke kebun yang letaknya jauh sekali dari rumah, digerogoti nyamuk, masuk jalanan berlumpur hingga kotor pakaianku.
Namun sejak aku lulus dari sekolah dasar, orang tuaku ingin aku maju. Mendambakan pendidikan yang baik sebagaimana diharapkan oleh orang-orang tuan lainnya. Berangkatlah aku, dan akhirnya dengan perjalanan dan perjuangan yang berat aku sampai disini, Jogja.
Kau tahu duniaku? sesekali aku pulang melihat kampungku, menjenguk orang tuaku, membebaskan rasa rindu yang luar biasa lama dipendam. Tapi bagaimanapun aku harus kuat, karena aku adalah seorang laki-laki. Laki-laki haruslah bersifat kesatria, yang tegar dan kuat serta bertanggung jawab. Begitu pepatah-pepatah yang aku dengar dari para guru.
Akhir-akhir ini aku mengerti mengapa banyak perubahan pada duniaku yang sering tak tentu ini, alam-mu yang dulu kulihat indah, lebat dan rupawan, kini tergantikan dengan degradasi besar-besaran. Hutanmu gundul rupanya, hanya menyisakan kantong-kantong uang bagi pembesar yang tak tahu aku dari mana datangnya.
Aku mersa terjarah dalam kampungku sendiri, awal-awalnya aku masih merasa bodoh melihat betapa tak sesuainya keseimbangan ini, tapi sejak berada ditempat yang jauh, sedikit-sedikit aku mengerti, betapa tak aman lagi alam kampungku saat ini.
Pernah aku diajak ayah berjalan ke arah hulu, melihat-lihat apa perkembangan akhir-akhir ini pada negeriku. Luar biasa, hutanmu sungguh tinggal sedikit lagi, rawa-rawa menyempit dan hampir tak menyisakan air. Yang aku rasakan sesudahnya adalah panas dan gersang dibawah terik yang luar biasa, serasa matahari mendekat diatas ubun-ubunku.
Sadarlah aku, keseimbanganmu talah goyah oleh generasi-generasi kami yang tidak berfikir ulang tentang bagaimana kontribusimu selama ini. Kau memberikan segalanya dari alam Tuhan ini “gratis” tak mengharap balasan, sedangkan generasi kami membabatnya dengan berbagai macam alasan.
Tahulah aku, sungaiku yang jernih dulu, kini airnya semakin memudar, beralih keruh. Tak terlihat lagi batu-batu kali tempat kami semasa anak-anak melempar-lemparkannya ke dasar sungai. Hanya tinggal tebing-tebing yang bisa melongsorkan tanahnya kapan saja ia mau, dan akhirnya aku pulang dan tak jadi berendam.
Oh, itulah rupanya curhatanmu “duniaku” selama ini dengan cuacamu, negeriku yang kaya ini menggerogoti dirinya dengan mambumi-hanguskan alamnya sendiri. Entah hingga kapan generasi kami akan duduk manis mendengarkan ucapanmu dan mengamini permintaanmu. Membelai kembali alammu dengan perilaku sahaja, besahabat sebagaimana nenek moyang kami jauh sebelumnya.
Hari ini, cuaca masih panas, dan aku sebisa mungkin memahami dan mendengar dengan baik pembicaraanmu pada alam ini. Apapun itu, aku masih tetap menikmati dan tersenyum terhadapmu. Salamku.

              Jogja, 2 Maret 2013.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar