Apa kabar duniaku? kembali aku
menghirup udaramu dengan rasa yang sangat-sangat baru. Akhir-akhir ini cuacamu
sangat tak menentu, menemani akhir pekan yang aku rasa semakin ambigu untuk
dinimati.
Tapi tak apalah, mau gimana lagi, tak mungkin kusalahkan kau
tentang buruk dan baiknya cuacamu, karena aku merasa yakin bahwa kau tak
beraslah dan tak punya andil dalam perubahan itu.
Kau tahu kampungku? kampungku berada dipelosok daerah sana. Dulu,
ketika aku masih berumur enam hingga sepuluhan tahun, banyak orang-orang tak
mengenal kampungkuu, bahkan ada nada menghina tersirat dalam ucapan orang-orang
itu. Namun aku masih bangga terhadap kampungku itu.
Tahu kau? Karena aku merasa kampungku memiliki segalanya, ya, alam
yang melimpah, tetangga yang menebar senyum, ramah tamah dalam silaturahmi,
masih banyak hutan yang dapat dilihat, dah juga kepelosokannya kukira.
Kampungku serasa negeri yang luar biasa, memberikan ikan-ikan segar dari sungainya
yang jernih, tempat para penduduk mandi serta mengais rezeki.
Aku masih ingat ketika bapakku mengajakku mencari ikan ditepi
sungai dikampungku, men-jala ikan sambil belajar aku men-jala –namun masih saja
tak bisa- dan luar biasa yang kami dapatkan, ikan-ikan sungai segar untuk kami
makan dan masuk dalam tungku ibuku.
Alam dan sungai dikampungku merupakan sahabatku, berendam lama di
sungai merupakan hobi kami saat anak-anak, tak jarang aku-pun demam tinggi
dibuatnya karena tak dengar nasihat ibu dan nenek. Tapi, tetap saja aku
membandel dan tetap terjun kesungai. Betapa nakalnya aku saat itu.
Tapi entah mengapa, aku merasa luar biasa bahagia. Aku pernah
diajak buyutku berjalan kaki ke kebun yang letaknya jauh sekali dari rumah,
digerogoti nyamuk, masuk jalanan berlumpur hingga kotor pakaianku.
Namun sejak aku lulus dari sekolah dasar, orang tuaku ingin aku
maju. Mendambakan pendidikan yang baik sebagaimana diharapkan oleh orang-orang
tuan lainnya. Berangkatlah aku, dan akhirnya dengan perjalanan dan perjuangan
yang berat aku sampai disini, Jogja.
Kau tahu duniaku? sesekali aku pulang melihat kampungku, menjenguk
orang tuaku, membebaskan rasa rindu yang luar biasa lama dipendam. Tapi
bagaimanapun aku harus kuat, karena aku adalah seorang laki-laki. Laki-laki
haruslah bersifat kesatria, yang tegar dan kuat serta bertanggung jawab. Begitu
pepatah-pepatah yang aku dengar dari para guru.
Akhir-akhir ini aku mengerti mengapa banyak perubahan pada duniaku yang sering tak tentu ini, alam-mu yang dulu kulihat indah, lebat dan
rupawan, kini tergantikan dengan degradasi besar-besaran. Hutanmu gundul
rupanya, hanya menyisakan kantong-kantong uang bagi pembesar yang tak tahu aku
dari mana datangnya.
Aku mersa terjarah dalam kampungku sendiri, awal-awalnya aku masih
merasa bodoh melihat betapa tak sesuainya keseimbangan ini, tapi sejak berada
ditempat yang jauh, sedikit-sedikit aku mengerti, betapa tak aman lagi alam
kampungku saat ini.
Pernah aku diajak ayah berjalan ke arah hulu, melihat-lihat apa
perkembangan akhir-akhir ini pada negeriku. Luar biasa, hutanmu sungguh tinggal
sedikit lagi, rawa-rawa menyempit dan hampir tak menyisakan air. Yang aku
rasakan sesudahnya adalah panas dan gersang dibawah terik yang luar biasa,
serasa matahari mendekat diatas ubun-ubunku.
Sadarlah aku, keseimbanganmu talah goyah oleh generasi-generasi
kami yang tidak berfikir ulang tentang bagaimana kontribusimu selama ini. Kau
memberikan segalanya dari alam Tuhan ini “gratis” tak mengharap balasan,
sedangkan generasi kami membabatnya dengan berbagai macam alasan.
Tahulah aku, sungaiku yang jernih dulu, kini airnya semakin memudar,
beralih keruh. Tak terlihat lagi batu-batu kali tempat kami semasa anak-anak
melempar-lemparkannya ke dasar sungai. Hanya tinggal tebing-tebing yang bisa
melongsorkan tanahnya kapan saja ia mau, dan akhirnya aku pulang dan tak jadi
berendam.
Oh, itulah rupanya curhatanmu “duniaku” selama ini dengan cuacamu, negeriku yang kaya ini menggerogoti
dirinya dengan mambumi-hanguskan alamnya sendiri. Entah hingga kapan generasi
kami akan duduk manis mendengarkan ucapanmu dan mengamini permintaanmu.
Membelai kembali alammu dengan perilaku sahaja, besahabat sebagaimana nenek
moyang kami jauh sebelumnya.
Hari ini, cuaca masih panas, dan aku sebisa mungkin memahami dan
mendengar dengan baik pembicaraanmu pada alam ini. Apapun itu, aku masih tetap
menikmati dan tersenyum terhadapmu. Salamku.
Jogja, 2 Maret 2013.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar