Kamis, 28 Maret 2013

Kopi Pagi


Air mengalir dari gunung menyusuri ngarai, melewati berbagai halangan dijalan yang ditempuhnya dan kemudian berakhir di lautan, sebagian terendap meresap kedalam bumi, bertujuan akhir memberi kehidupan bagi penghuninya, tak terkecuali manusia.
Hari masih pagi, dan air dalam sebuah ruang lain tertuang di dalam pemanas, mendidih di atas tungku yang terbakar merah menyala. Ia mendidih, berubah fungsi menjadi beberapa macam untuk tujuan yang sangat-sangat tak sempat ia mengerti prosesnya. Tapi intinya, “ia berguna” syukurnya.
Serbuk-serbuk kecil kopi telah disiapkan, cangkir telah dibersihkan dan sesaat kemudian air yang sudah menjadi panas tertuang ke dalam benda mungil tersebut, bergaul dengan serbuk kopi dan menyatu, larut, dan tetap sama intinya, ia berguna meski berubah warna.
Pagi yang dingin berubah hangat, tertebar aroma menggiurkan dari cangkir yang berisi air kopi, sedikit-sedikit diseruput, membawa caffein yang terkandung dari serbuk-serbuknya. Merangsang otak, membuka saraf dan “ini sangat nikmat”.
Pagi yang gelap berubah menjadi berwarna, tubuh yang lemas menjadi segar dan mata yang mengantuk menjadi menyala, membangunkan otak dan tubuh bangkit dari kekakuan.
Entah apa rasa dunia tanpa kopi, Mengantukkah? Loyokah? Aku tak tahu. Begitupun rasa air tanpa kopi dan sedikit racikan gula, mungkin akan tetap tawar-tawar saja tanpa ada rasa, monoton.
Entah apa itu pula cermin pagi, cermin manusia dan cermin dunia. Harus ada yang mengubah warna-nya, mengubah alam bawah sadar bahwa alangkah indahnya hidup ini yang berawal dari pagi, pagi yang dingin.
Namun ia tak selamanya dingin, dengan pencarian dan inovasi ia dapat berubah menjadi indah dengan suara-suara alam yang semakin didengar semakin syahdu dan merdu. Ia-pun dapat berubah menjadi hangat, buktinya dengan kopi pagi ini, membawa rasa fantasi yang hanya didapat diwaktu pagi, luar biasa.
Pagi, pagi, pagi, engkau akan terlewati dengan hadirnya matahari yang menanjak naik, merubah warna langit menjadi jingga. Sementara itu, kopi di depan mata tinggal sedikit, dipercepat sebelum hilang kehangatan dan ia habis begitu saja.
Terimakasih dunia, alam, air, kopi dan mentari. Aku hirup lagi udaramu, aku seruput lagi hangat airmu, aku cium lagi aroma kopimu dan kulihat lagi hari yang masih belum ku ketahui bagaimana ia berlangsung, namun semua akan terasa nikmat ketika kaki sudah berjalan melangkah.

Selamat beraktifitas dari secangkir kopi yang telah habis tanpa sisa.”

Jogja, 28 Maret 2013.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar